BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Trakoma disebabkan oleh C. Trkomatis.
Dulu trakoma disebut oftalmia mesir & bersifat endemis di Timur Tengah
sejak masa prasejarah. Kemudian tersebar luas di Eropa oleh tentara Prancis
saat perang Napoleon. Sekarang penyakit ini bersifat endemis di banyak negara,
terutama di Eropa Timur dan Tengah, Timur Tengah, Asia Te-ngah dan Timur,
Indonesia, pulau-pulau di Passifik, Afrika Tengah dan Utara dan sebagian besar
Amerika Selatan.
Penyakit ini berkembang diantara penduduk dengan lingkungan yang buruk, populasi yang padat, dan kebersihan yang kurang. Di daerah endemik, anak-anak kecil sering sudah tertular pada umur beberapa tahun pertama. Pada stadium akut penyakit ini sangat menular. Penularan lewat sekret konjungtiva, jari, handuk dan lalat.
Penyakit ini berkembang diantara penduduk dengan lingkungan yang buruk, populasi yang padat, dan kebersihan yang kurang. Di daerah endemik, anak-anak kecil sering sudah tertular pada umur beberapa tahun pertama. Pada stadium akut penyakit ini sangat menular. Penularan lewat sekret konjungtiva, jari, handuk dan lalat.
Trakoma
biasanya mulai secara subakut, tetapi apabila infeksi masif (berat) dapat
bersifat akut. Perjalanan penyakitnya terganting apakah trakoma tadi ditumpangi
oleh infeksi mata lain atau tidak. Trakoma murni (tidak ditumpangi infeksi
lain) bersifat ringan, kadang-kadang begitu ringan dan tanpa gejala sehingga
luput dari diagnosis. Ini akhirnya akan sembuh dan meninggalkan jaringan parut
(sikatriks) pada umur tua. Pada kasus-kasus tadi sering ditemukan sisa-sisa
folikel atau sikatriks di konjungtiva tarsialis superior.
Di
lain pihak, di negara-negara yang trakomanya bersifat endemis, terutama di
Afrika Utara dan Timur Tengah, adanya infeksi sekunder (H. Aegiptius,
gonokokus, atau mikro-organisme lain) akan menyebabkan penyakit akut dan berat
yang sering kambuh (eksaserbasi) dan akhirnya menyebabkan gejala sisa (sekuela)
berupa sikatriks konjungtiva superior. Pelpebra akan menggulung kedalam
(entropin) sehingga bulu mata mengarah ke kornea dan menusuk-nusuk atau menggores
kornea (trikhiasis) sehingga kornea menjadi keruh dan dapat menyebabkan
kebutaan.
Infeksi
primernya di epitel konjungtiva dan kornea. Gejala khas di konjungtiva adalah
timbulnya inflamasi (peradangan) difus yang khas karena kongesti, pembesaran
papil-papil, dan terbentuknya folikel-folikel. Yang paling sering terkena
adalah konjungtiva tersalis, sehingga berwarna merah seperti beludru, dan
sepintas tampak penebalan uniform seperti agar-agar. Lesi utama pada trakoma
adalah pembentukan folikel. Apabila folikel ini lebih besar, kadang-kadang
dapat bergaris tengah 5 mm. Folikel-folikel tadi dapat berada di :
Fornix inferior dan superior
Fornix inferior dan superior
Tepi atas tersus berderet
Karunkula dan plika semilunaris
Pada konjungtiva palpebrae Jarang di
konjungtiva bulbi, tetapi apabila ada, ini khas untuk trakoma dapat menginvasi
(masuk) ke dalam subepitel konjungtiva tersalis daan bahkan tarsus.
Gambaran
diagnotis yang penting adalah timbulnya sikatriks dari folikel yang pecah yang
terjadi relatif di stadium awal. Sikatriks ini kecil-kecil, berbentuk bintang
yg tampak dibawah biomikroskop (slitlamp / lempu celah).
Trakoma
juga mengenai kornea yang manifestas awalnya sebagai keratitis superfisialis
yang kadang-kadang begitu ringan sehingga hanya dapat dilihat di bawah
biomikroskop dengan pewarna fluoresin, terutama di bagian atas kornea. Di
tempat ini banyak terjadi erosi yang kemudian akan terjadi infiltrasi ke
substansia propria.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit trachoma ?
2. Apakah trachoma menjadi masalah
kesehatan di Indonesia ?
3. Bagaimana upaya pencegahan penyakit
trachoma ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kualitas kesehatan di
Indonesia saat ini.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi faktor
tibulnya penyakit trachoma.
3. Mendeskripsikan solusi pengobatan trhadap
seseorang yang terkena pentakit trachoma.
D.
Manfaat Penulisan
1. Bagi
Pemerintah
Bisa
dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia.
2. Bagi
Guru
Bisa
dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat
berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Siswa
Bisa
dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri
pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan pada umumnya.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II
PENYAKIT MATA TRACHOMA
A. Definisi Penyakit dan Agen Penyebabnya
B. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit
C. Tanda dan Gejala Penyakit
D. Masuknya Agen ke Air
E. Masuknya Agen Dari Sumber Air Ke Mata
F. Upaya Pencegahan
a. Upaya pencegahan penyebaran
agen lewat air
... b. Upaya pencegahan
masuknya agen dari air ke manusia sehat
G.
Trachoma Menjadi Masalah Kesehatan di Indonesia
H. Materi Penyuluhan Yang Cocok Bagi Masyarakat Sekolah
I. Gambaran Klinik 4 Stadium
a. Stadium I
b. Stadium II
c. Stadium
III
d. Stadium
IV
E.
Pengobatan
a. Kimiawi
b. Tradisional
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyakit dan Agen Pengebab
Penyakit
Trachoma
adalah penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kebutaan bagi penderitanya.
Penyakit ini disebabkan oleh tersebarnya bakteri Chlamydia trachomatis di tempat-tempat yang kualitas sanitasinya
buruk dan kualitas air yang tidak adekuat. Bakteri-bakteri ini kemudian
tersentuh oleh tangan manusia, menempel di tubuh lalat, atau tempat-tempat lain
yang nantinya mengontaminasi mata orang yang sehat. Infeksi oleh bakteri ini
dapat menyebabkan munculnya jaringan parut pada kornea mata. Pada
awalnya, terbentuk reaksi infeksi inflamasi pada bagian kelopak atas.
Reaksi inilama-kelamaan membuat kelopak mata mengerut dan menyempit. Kelopak
yang membentuk jaringan parut ini lama-kelamaan semakin ke dalam hingga pada
akhirnya menutupi kornea. Ketika kornea tertutupi jaringan parut maka si
penderita mulai mengalami kebutaan. Dalam setiap kedipan mata, bulu mata akan
menggaruk kornea dan membuat penderita menderita. Kondisi ini disebut
trichiasis.
Chlamydia
trachomatis adalah bakteri intraseluler yang hanya bisa berpoliferasi
di dalam sel host eukariotik. Di luar sel inang, C. trachomatis membentuk badan elementer berupa spora analogus.
Ketika spora ini berada dalam sel inang, badan elementernya (BE) akan
berubah/berdiferensiasi menjadi badan retikulat (BR), yaitu bentuk non
infeksius dari Chlamydia.
Setelah beberapa saat berada di dalam sel, BR akan mengalami replikasibinary fusion dan kembali ke bentuk
BE. Biasanya EB akan menempati sebagian besar sitoplasma di dalam sel. EB
kemudian membuat sel-sel inang mengalami lisis. Sel asli yang hancur diganti
dengan jaringan parut oleh mekanisme alami dalam tubuh manusia.
Reservoir penyakit ini adalah manusia.
Cara penularan melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi atau dari discharges nasofaring melalui jari
atau kontak tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi, seperti handuk,
pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur
Tengah dan spesies jenis Hippelates
di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran penyakit.
Padaanak-anak yang menderita trachoma
aktif, chlamydia dapat
ditemukan dari nasofaring dan rektum. Akan tetapi, di daerah endemis untuk
serovarian dari trachoma tidak ditemukan reservoir genital. Masa inkubasi 5
sampai dengan 12 hari. Masa penularanberlangsung selama masih ada lesi
aktif di konjungtiva dan kelenjar-kelenjar adneksa maka selama itu penularan
dapat berlangsung bertahun-tahun. Konsentrasi organisme dalam jaringan
berkurang banyak dengan terbentuknya jaringan parut, tetapi jumlahnya akan
meningkat kembali dengan reaktivasi dari penyakit dan terbentuknya discharge
kembali. Penderita tidak menular lagi 1-3 hari setelah diberi pengobatan dengan
antibiotika sebelum terjadinya perbaikan gejala klinis.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya
Penyakit Trachoma
Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit dan persebarannya
yang meluas. Beberapa di antaranya adalah:
1.
Kualitas sanitasi dan air
2. Personal hygiene
3.
Kemiskinan
4.
Kepadatan penduduk
Faktor
utama yang mempengaruhi persebaran penyakit adalah kualitas sanitasi dan personal hygene manusia. Hal ini
karena penyakit ini sebagian besar ditularkan lewat pajanan manusia-manusia
atau lewat lalat sebagai vektor. Seseorang penderita trachoma memiliki peluang
sangat besar dalam menularkan penyakit ini. Ketika ada salah satu bagian
tubuhnya, tisu, atau sapu tangan yang digunakan untuk menyapu matanya maka pada
saat itu juga bakteri berpindah dari sumber (mata penderita) ke media perantara
(tangan, tisu, sapu tangan). Ketika ada orang yang bersalaman dengan tangan yang
telah mengandung bakteri chlamidia kemudian dia menggunakannya untuk mengucek
matanya padahal dia belum mencuci tangannya maka pada saat itu juga penyakit
mulai menyebar.
Lingkungan
yang sanitasinya tidak terjaga memungkinkan lalat untuk berkembang biak dengan
baik. Lalat dapat menjadi vektor trachoma. Lalat dapat hinggap di mata
penderita. Agen yang menempel di tubuh lalat akan dibawanya ke tempat
lain,misalnya tempat penampungan air, tangan orang yang sehat, atau bahkan
langsung hinggap di mata orang yang sehat. Agen kemudian tersentuh oleh tangan
orang sehat. Jika orang tersebut personal
hygienenya kurang terjaga maka ia akan menggunakan tangannya yang
tadinya dihinggapi lalat dan mengucek matanya. Pada saat itu agen mulai
tersebar di orang yang baru. Hal yang sama akan terjadi lewat tisu atau
saputangan yang terpajan, air, dan sebagainya.
C. Tanda dan Gejala
Penyakit ini mempunyai waktu inkubasi
(saat terkena infeksi sampai awal timbulnya gejala) 5 sampai 12 hari. Kebutaan
akibat trakoma diakibatkan karena infeksi berulang penyakit ini. Gejala awal
utama dari trakoma adalah mata yang gatal dan kemerahan, mata berair, dan
terkadang mata mengeluarkan sekret kotoran mata berwarna keruh. Gejala
selanjutnya bisa terdapat fotofobia (takut lihat cahaya), kelopak mata bengkak,
trikiasis (bulu mata yang melengkung ke dalam), pembengkakan kelenjar getah
bening yang terletak tepat di depan mata, kornea (selaput bening mata) tampak
keruh dan nyeri pada mata. Anak-anak sangat rentan terhadap infeksi trakoma,
namun penyakit ini berkembang secara lambat, dan mungkin gejala yang lebih
berat tidak terlihat sampai usia dewasa.
D. Masuknya Agen ke Air
D. Masuknya Agen ke Air
Masuknya
agen ke dalam air salah satunya disebabkan oleh penderita yang mencuci matanya
di sumber air. Bakteri juga dapat berasal dari tubuh lalat yang membawa agen.
Selain itu, mencuci sapu tangan penderita di sumber air juga dapat mencemari
air.
E. Masuknya Agen Trachoma Dari Sumber
Air Ke Mata
Agen
trachoma dapat masuk dan menimbulkan penyakit manusia akibat kurangnya akses
terhadap air bersih. Air yang sudah tercemari dengan cara-cara di atas dapat
menempel di baju yang dicuci bersama sapu tangan tercemar. Baju kita tidak
dapat mengetahui di mana bakteri Chlamydia menempel. Akan tetapi, tanpa kita
sadari baju tadi menyentuh mata kita. Padahal bagian yang menyentuh mata kita
adalah bagian yang mengandung bakteri Chlamydia.
Demikian juga jika manusia sehat cuci muka dengan menggunakan air yang sudah
tercemar bakteri chlamydia. Setelah melewati waktu inkubasinya,gejala-gejala
awal konjungtiva akibat aktivitas Chlamydia
dimulai. Selain itu, lalat juga bisa menjadi vektor perantara penyakit ini.
F. Upaya Pencegahan
a.
Upaya Pencegahan Penyebaran Lewat Air
Penelitian
menunjukkan bahwa upaya pengobatan dengan antibotik mampu mereduksi 14-36%
kejadian infeksi trachoma 12 bulan setelah pelakuan. Harus diakui hasil ini
tidak menjanjikan eradikasi penyakit pada masa yang akan datang karena selama
12 bulan mata pasien tetap dapat menjadi sumber penyakit dan dapat ditularkan
kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam penanganan penyakit ini dibutuhkan
upaya pencegahan secara menyeluruh.
Tujuan dari upaya pencegahan adalah untuk
memutus daur transmisi dan mengeleminasi penyebaran penyakit. Upaya pencegahan
penyakit trachoma salah satu di antaranya adalah dengan mengintervensi
lingkungan. Caranya adalah dengan membangun sarana sanitasi yang baik dengan
sistem pengolahan air limbah yang sehat. Para penduduk diajari agar terbiasa
mencuci pakaian di tempat khusus, bukan di sungai. Air limpasannya dapat diolah
dengan menggunakan bak kontrol dan activity
sludge. Sehingga air bekas mencuci pakaian yang tercemar bakteri chlamydia tidakmasuk ke badan air.
Warga juga disuluh agar senantiasa menggunakan sabun dalam setiap aktivitasnya
menggunakan air. Aktivitas ini mencakup mencuci pakaian, piring, bahkan mencuci
tangan sebelum makan, minum, dan beraktivitas sehingga peluang menularnya
bakteri lewat tangan dapat diperkecil.
Selain itu, perlu dibangun akses terhadap air bersih yang
tertutup. Warga mungkin dapat tetap menggunakan sumur gali asal sumur selalu
ditutup setelah dipakai. Cara yang lumayan aman adalah dengan menggunakan pompa
tangan. Output dari pompa tangan adalah air yang murni berasal dari air tanah
tanpa terkontaminasi bakteri dari luar.
Sumber air tetap dapat tercemar tanpa adanya perubahan
perilaku yang sehat dari masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan sarana-sarana
tadi harus diikuti dengan intervensi perilaku masyarakat. Perilaku utama yang
harus diintervensi adalah perilaku untuk terbiasa menggunakan sarana yang sudah
ada untuk mandi dan mencuci baju serta tidak melakukan aktivitas tadi di sumber
air langsung.
b. Upaya Pencegahan Masuknya Agen
Dari Air Ke Manusia Sehat
Transmisi dimulai ketika bakteri dari mata penderita pindah
ke orang lain yang tidak terinfeksi. Ketika sumber air yang ada telah tercemar,
maka warga harus dihimbau untuk tidak lagi menggunakan sumber air tersebut
hingga dapat dipastikan dengan benar bahwa agen penyakit benar-benar telah
dapat dihilangkan. Itulah mengapa salah satu komponen penting dalam
pemberantasan trachoma adalah tersedianya air bersih yang adekuat. Tanpa suplai
air bersih yang adekuat sangatlah tidak mungkin mengarahkan anak-anak untuk
mencuci tangan dan wajahnya.
G. Trachoma Menjadi Masalah Kesehatan
di Indonesia
Trachoma
tidak menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat di profil
kesehatan Indonesia tahun 2007 dimana kejadian trachomatis tidak termasuk dalam
daftar penyakit yang sedang mewabah. Laporan yang sama juga dapat dilihat di
kabupaten Nias, Asahan, dan Situbondo. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa
meremehkannya dengan membiarkan higienitas masyarakat Indonesia tetap buruk.
H. Materi Penyuluhan yang Cocok Untuk di
Sampaikan Kepada Masyarakat Sekolah
Materi
penyuluhan yang baik adalah materi yang disusun selain berlandaskan dasar
keilmuan juga berdasarkan latar belakang sosial budaya masyarakat tempat kasus
terjadi. Selain itu, materi juga harus disesuaikan dengan latar belakang
penerima, apakah mereka anak-anak, orang tua, atau guru. Untuk penyakit
trachoma, materi penyuluhan dapat diberikan kepada anak-anak, orang tua, dan
guru. Tiga domain ini saya rasa adalah pihak yang
paling berperan dalam praktik dan upaya perubahan perilaku.
Anak-anak
perlu mendapatkan penyuluhan karena usia yang paling rentan terinfeksi adalah
anak-anak. Mereka berada dalam posisi yang paling rentan karena biasanya anak
kecil belum bisa membedakan tempat main yang bersih dan yang kotor. Pengetahuan
mereka yang minim akan tempat-tempat dan cara penularan penyakit juga menjadi
salah satu faktor pemungkin. Faktor lain yang juga dianggap berpengaruh adalah
imunitas. Sistem imun anak-anak masih belum sempurna untuk menahan infeksi Chlamydia. Sedangkan orangtua perlu
mendapatkan penyuluhan karena merekalah yang mengurus keseharian anak mereka,
memandikannya, dan sebagainya. Para guru juga perlu mendapatkana penyuluhan
agar mereka dapat mengembangkan program-program di sekolah yang berbasiskan
praktik personal hygiene.
I. Gambaran Klinik 4 stadium
a.
Stadium I
Stadium I; disebut stadium insipien
atau stadium permulaan, didapatkan terutama folikel di konjungtiva tarsal
superior, pada konjungtiva tarsal inferior juga terdapat folikel, tetapi ini
tidak merupakan gejala khas trakoma. Pada kornea di daerah limbus superior
terdapat keratitis pungtata epitel dan subepitel. Kelainan kornea lebih jelas
apabila diperiksa dengan melakukan tes fluoresin, dimana akan terlihat
titik-titik hijau pada defek kornea.
b. Stadium II
Stadium
II; disebut stadium established atau nyata, didapatkan folikel-folikel di
konjungtiva tarsal superior,beberapa folikel sudah matur berwarna lebih
abu-abu. Pada kornea selain keratitis pungtata superficial, juga terlihat
adanya neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke
arah kornea bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan
neovaskularisasi tersebut dikenal sebagai pannus.
c. Stadium III
Stadium
III; disebut stadium parut, dimulai terbentuknya sikatriks pada folikel
konjungtiva tarsal superior yang terlihat sebagai garis putih halus. Pannus
pada kornea lebih nyata. Tidak jarang pada stadium ini masih terlihat trikiasis
sebagai penyakit. Pada stadium ini masih dijumpai folikel pada konjungtiva
tarsal superior.
d. Stadium IV
Stadium
IV; disebut stadium penyembuhan. Pada stadium ini, folikel pada konjungtiva
tarsal superior tidak ada lagi, yang ada hanya sikatriks. Pada kornea bagian
atas pannus tidak aktif lagi. Pada stadium ini dijumpai komplikasi-komplikasi
seperti entropion sikatrisiale, yaitu pinggir kelopak mata atas melengkung ke
dalam disebabkan sikatriks pada tarsus. Bersamaan dengan enteropion, bulu-bulu
mata letaknya melengkung kedalam menggosok bola mata (trikiasis). Bulu mata
demikian dapat berakibat kerusakan pada kornea, yang mudah terkena infeksi
sekunder, sehingga mungkin terjadi ulkus kornea. Apabila penderita tidak
berobat, ulkus kornea dapat menjadi dalam dan akhirnya timbul perforasi.
J. Pengobatan
a.
Secara Kimiawi
Pengobatan meliputi pemberian salep
antibiotik yang berisi tetrasiklin dan erithromisin selama 4 – 6 minggu. Selain
itu antibiotik tersebut juga bisa
diberikan dalam bentuk tablet.
diberikan dalam bentuk tablet.
§
Doksisiklino Sediaan : kapsul atau tablet 100 mg (HCl)
o
Dosis dewasa 100 mg per oral 2 x sehari selama 7 hari atau
§
Tetrasiklino Sediaan salep mata 1% (HCl)
o
Dosis dewasa 2 x sehari selama 6 minggu
Perbaikan
klinik mencolok umumnya dicapai dengan tetracycline,1-1,5 g/ hari per os dalam
empat dosis selama 3-4 minggu ; doxycycline,100 mg per os 2 kali sehari selama
3 minggu; atau erythromycin, 1 g / hari per os dibagi dalam empat dosis selama
3-4 minggu. Kadang-kadang diperlukan beberapa kali kur ( pengobatan) agar benar
–benar sembuh. Tetracycline sistemik jangan diberi pada anak dibawah umur 7
tahun atau untuk wanita hamil. Karena tetracycline mengikat kalsium pada gigi
yang berkembang dan tulang yang tumbuh dan dapat berakibat gigi permanen
menjadi kekuningan dan kelainan kerangkan (mis, clavicula).
Salep atau tetes topikal, termasuk preparat sulfonamide, tetracycline, erythromycin dan rifampin, empat kali sehari selama enam minggu, sama efektifnya.
Salep atau tetes topikal, termasuk preparat sulfonamide, tetracycline, erythromycin dan rifampin, empat kali sehari selama enam minggu, sama efektifnya.
Saat
mulai terapi, efek maksimum biasanya belum dicapai selama 10 – 12 minggu.
Karena itu, tetap adanya folikel pada trasesus superior selama beberapa minggu
setelah terapi berjalan jangan dipakai sebagai bukti kegagalan terapi.
Koreksi bulu mata yang membalik
kedalam melalui bedah adalah esensial untuk mencegah parut trachoma lanjut di
Negara berkembang. Tindakan bedah ini kadang –kadang dilakukan oleh dokter
bukan ahli mata atau orang yang dilatih kusus.
b.
Secara Tradisional
Beberapa
tanaman obat yang diyakini mampu mengobati trakoma adalah :
- Daun saga secukupnya direbus dengan air secukupnya. Setelah dingin, disaring kemudian airnya digunakan untuk mencuci mata.
- 10 gram akar mondokaki, 10 gram daun saga, 15 gram daun tempuh wiyang, dan 10 gram secang direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Setelah dingin, airnya disaring kemudian digunakan untuk mencuci mata.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit trachoma ?
1.
Kualitas sanitasi dan air
2. Personal hygiene
3.
Kemiskinan
4.
Kepadatan penduduk
2. Apakah trachoma menjadi masalah
kesehatan di Indonesia ?
Trachoma tidak menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat di profil kesehatan Indonesia
tahun 2007 dimana kejadian trachomatis tidak termasuk dalam daftar penyakit
yang sedang mewabah. Laporan yang sama juga dapat dilihat di kabupaten Nias,
Asahan, dan Situbondo. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa meremehkannya
dengan membiarkan higienitas masyarakat Indonesia tetap buruk.
3. Bagaimana upaya pencegahan penyakit
trachoma ?
Caranya
adalah dengan membangun sarana sanitasi yang baik dengan sistem pengolahan air
limbah yang sehat. Para penduduk diajari agar terbiasa mencuci pakaian di
tempat khusus, bukan di sungai. Air limpasannya dapat diolah dengan menggunakan
bak kontrol dan activity sludge.
Sehingga air bekas mencuci pakaian yang tercemar bakteri chlamydia tidakmasuk ke badan air.
Warga juga disuluh agar senantiasa menggunakan sabun dalam setiap aktivitasnya
menggunakan air. Aktivitas ini mencakup mencuci pakaian, piring, bahkan mencuci
tangan sebelum makan, minum, dan beraktivitas sehingga peluang menularnya
bakteri lewat tangan dapat diperkecil.
Daftar pustaka
• Brunner and suddarth. ( 2001 ).
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa : dr. H.Y. Kuncara dkk.Jakarta
: EGC
• Sidharta Ilyas. ( 2001 ).Penuntun
Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Penerbit FKUI
·
Di akses pada GOOGLE jam 15:23 tanggal 4
Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar