Jumat, 15 Agustus 2014

Makalah IKM Trakoma



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Trakoma disebabkan oleh C. Trkomatis. Dulu trakoma disebut oftalmia mesir & bersifat endemis di Timur Tengah sejak masa prasejarah. Kemudian tersebar luas di Eropa oleh tentara Prancis saat perang Napoleon. Sekarang penyakit ini bersifat endemis di banyak negara, terutama di Eropa Timur dan Tengah, Timur Tengah, Asia Te-ngah dan Timur, Indonesia, pulau-pulau di Passifik, Afrika Tengah dan Utara dan sebagian besar Amerika Selatan.
         Penyakit ini berkembang diantara penduduk dengan lingkungan yang buruk, populasi yang padat, dan kebersihan yang kurang. Di daerah endemik, anak-anak kecil sering sudah tertular pada umur beberapa tahun pertama. Pada stadium akut penyakit ini sangat menular. Penularan lewat sekret konjungtiva, jari, handuk dan lalat.
         Trakoma biasanya mulai secara subakut, tetapi apabila infeksi masif (berat) dapat bersifat akut. Perjalanan penyakitnya terganting apakah trakoma tadi ditumpangi oleh infeksi mata lain atau tidak. Trakoma murni (tidak ditumpangi infeksi lain) bersifat ringan, kadang-kadang begitu ringan dan tanpa gejala sehingga luput dari diagnosis. Ini akhirnya akan sembuh dan meninggalkan jaringan parut (sikatriks) pada umur tua. Pada kasus-kasus tadi sering ditemukan sisa-sisa folikel atau sikatriks di konjungtiva tarsialis superior.
          Di lain pihak, di negara-negara yang trakomanya bersifat endemis, terutama di Afrika Utara dan Timur Tengah, adanya infeksi sekunder (H. Aegiptius, gonokokus, atau mikro-organisme lain) akan menyebabkan penyakit akut dan berat yang sering kambuh (eksaserbasi) dan akhirnya menyebabkan gejala sisa (sekuela) berupa sikatriks konjungtiva superior. Pelpebra akan menggulung kedalam (entropin) sehingga bulu mata mengarah ke kornea dan menusuk-nusuk atau menggores kornea (trikhiasis) sehingga kornea menjadi keruh dan dapat menyebabkan kebutaan.
         Infeksi primernya di epitel konjungtiva dan kornea. Gejala khas di konjungtiva adalah timbulnya inflamasi (peradangan) difus yang khas karena kongesti, pembesaran papil-papil, dan terbentuknya folikel-folikel. Yang paling sering terkena adalah konjungtiva tersalis, sehingga berwarna merah seperti beludru, dan sepintas tampak penebalan uniform seperti agar-agar. Lesi utama pada trakoma adalah pembentukan folikel. Apabila folikel ini lebih besar, kadang-kadang dapat bergaris tengah 5 mm. Folikel-folikel tadi dapat berada di :
Fornix inferior dan superior
Tepi atas tersus berderet
Karunkula dan plika semilunaris
Pada konjungtiva palpebrae Jarang di konjungtiva bulbi, tetapi apabila ada, ini khas untuk trakoma dapat menginvasi (masuk) ke dalam subepitel konjungtiva tersalis daan bahkan tarsus.
         Gambaran diagnotis yang penting adalah timbulnya sikatriks dari folikel yang pecah yang terjadi relatif di stadium awal. Sikatriks ini kecil-kecil, berbentuk bintang yg tampak dibawah biomikroskop (slitlamp / lempu celah).
          Trakoma juga mengenai kornea yang manifestas awalnya sebagai keratitis superfisialis yang kadang-kadang begitu ringan sehingga hanya dapat dilihat di bawah biomikroskop dengan pewarna fluoresin, terutama di bagian atas kornea. Di tempat ini banyak terjadi erosi yang kemudian akan terjadi infiltrasi ke substansia propria.  
      
B. Rumusan Masalah
1.  Apa saja faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit trachoma ?
2. Apakah trachoma menjadi masalah kesehatan di Indonesia ?
3. Bagaimana upaya pencegahan penyakit trachoma ?

C. Tujuan Penelitian
1.   Mendeskripsikan kualitas kesehatan di Indonesia saat ini.
2.   Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi faktor tibulnya penyakit trachoma.
3. Mendeskripsikan solusi pengobatan trhadap seseorang yang terkena pentakit trachoma.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Siswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan pada umumnya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
         
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
                                                                                                                                                   
Kata Pengantar      
Daftar Isi     

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah   
B. Rumusan Masalah 
C. Tujuan Penulisan 
D. Manfaat Penulisan 
E. Sistematika Penulisan 
BAB II 
PENYAKIT MATA TRACHOMA
A. Definisi Penyakit dan Agen Penyebabnya
B. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit
C. Tanda dan Gejala Penyakit
D. Masuknya Agen ke Air
E. Masuknya Agen Dari Sumber Air Ke Mata
F. Upaya Pencegahan
    a. Upaya pencegahan penyebaran agen lewat air
... b. Upaya pencegahan masuknya agen dari air ke manusia sehat
G. Trachoma Menjadi Masalah Kesehatan di Indonesia
H. Materi Penyuluhan Yang Cocok Bagi Masyarakat Sekolah
I. Gambaran Klinik 4 Stadium
    a. Stadium I
    b. Stadium II
    c. Stadium III
    d. Stadium IV
E. Pengobatan
     a. Kimiawi
    b. Tradisional

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit dan Agen Pengebab Penyakit
Trachoma adalah penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kebutaan bagi penderitanya. Penyakit ini disebabkan oleh tersebarnya bakteri Chlamydia trachomatis di tempat-tempat yang kualitas sanitasinya buruk dan kualitas air yang tidak adekuat. Bakteri-bakteri ini kemudian tersentuh oleh tangan manusia, menempel di tubuh lalat, atau tempat-tempat lain yang nantinya mengontaminasi mata orang yang sehat. Infeksi oleh bakteri ini dapat menyebabkan munculnya jaringan parut  pada kornea mata. Pada awalnya, terbentuk reaksi  infeksi inflamasi pada bagian kelopak atas. Reaksi inilama-kelamaan membuat kelopak mata mengerut dan menyempit. Kelopak yang membentuk jaringan parut ini lama-kelamaan semakin ke dalam hingga pada akhirnya menutupi kornea. Ketika kornea tertutupi jaringan parut maka si penderita mulai mengalami kebutaan. Dalam setiap kedipan mata, bulu mata akan menggaruk kornea dan membuat penderita menderita. Kondisi ini disebut trichiasis.
 Chlamydia trachomatis adalah bakteri intraseluler yang hanya bisa berpoliferasi di dalam sel host eukariotik. Di luar sel inang, C. trachomatis membentuk badan elementer berupa spora analogus. Ketika spora ini berada dalam sel inang, badan elementernya (BE) akan berubah/berdiferensiasi menjadi badan retikulat (BR), yaitu bentuk non infeksius dari Chlamydia. Setelah beberapa saat berada di dalam sel, BR akan mengalami replikasibinary fusion dan kembali ke bentuk BE. Biasanya EB akan menempati sebagian besar sitoplasma di dalam sel. EB kemudian membuat sel-sel inang mengalami lisis. Sel asli yang hancur diganti dengan jaringan parut oleh mekanisme alami dalam tubuh manusia.
 Reservoir penyakit ini adalah manusia. Cara penularan melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi atau dari discharges nasofaring melalui jari atau kontak tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi, seperti handuk, pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah dan spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran penyakit. Padaanak-anak yang menderita trachoma aktif, chlamydia dapat ditemukan dari nasofaring dan rektum. Akan tetapi, di daerah endemis untuk serovarian dari trachoma tidak ditemukan reservoir genital. Masa inkubasi 5 sampai dengan 12 hari. Masa penularanberlangsung selama masih ada lesi aktif di konjungtiva dan kelenjar-kelenjar adneksa maka selama itu penularan dapat berlangsung bertahun-tahun. Konsentrasi organisme dalam jaringan berkurang banyak dengan terbentuknya jaringan parut, tetapi jumlahnya akan meningkat kembali dengan reaktivasi dari penyakit dan terbentuknya discharge kembali. Penderita tidak menular lagi 1-3 hari setelah diberi pengobatan dengan antibiotika sebelum terjadinya perbaikan gejala klinis. 

B. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit Trachoma
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit dan persebarannya yang meluas. Beberapa di antaranya adalah:
1.      Kualitas sanitasi dan air
2.      Personal hygiene
3.      Kemiskinan
4.      Kepadatan penduduk

Faktor utama yang mempengaruhi persebaran penyakit adalah kualitas sanitasi dan personal hygene manusia. Hal ini karena penyakit ini sebagian besar ditularkan lewat pajanan manusia-manusia atau lewat lalat sebagai vektor. Seseorang penderita trachoma memiliki peluang sangat besar dalam menularkan penyakit ini. Ketika ada salah satu bagian tubuhnya, tisu, atau sapu tangan yang digunakan untuk menyapu matanya maka pada saat itu juga bakteri berpindah dari sumber (mata penderita) ke media perantara (tangan, tisu, sapu tangan). Ketika ada orang yang bersalaman dengan tangan yang telah mengandung bakteri chlamidia kemudian dia menggunakannya untuk mengucek matanya padahal dia belum mencuci tangannya maka pada saat itu juga penyakit mulai menyebar.
Lingkungan yang sanitasinya tidak terjaga memungkinkan lalat untuk berkembang biak dengan baik. Lalat dapat menjadi vektor trachoma. Lalat dapat hinggap di mata penderita. Agen yang menempel di tubuh lalat akan dibawanya ke tempat lain,misalnya tempat penampungan air, tangan orang yang sehat, atau bahkan langsung hinggap di mata orang yang sehat. Agen kemudian tersentuh oleh tangan orang sehat. Jika orang tersebut personal hygienenya kurang terjaga maka ia akan menggunakan tangannya yang tadinya dihinggapi lalat dan mengucek matanya. Pada saat itu agen mulai tersebar di orang yang baru. Hal yang sama akan terjadi lewat tisu atau saputangan yang terpajan, air, dan sebagainya.

C. Tanda dan Gejala
Penyakit ini mempunyai waktu inkubasi (saat terkena infeksi sampai awal timbulnya gejala) 5 sampai 12 hari. Kebutaan akibat trakoma diakibatkan karena infeksi berulang penyakit ini. Gejala awal utama dari trakoma adalah mata yang gatal dan kemerahan, mata berair, dan terkadang mata mengeluarkan sekret kotoran mata berwarna keruh. Gejala selanjutnya bisa terdapat fotofobia (takut lihat cahaya), kelopak mata bengkak, trikiasis (bulu mata yang melengkung ke dalam), pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat di depan mata, kornea (selaput bening mata) tampak keruh dan nyeri pada mata. Anak-anak sangat rentan terhadap infeksi trakoma, namun penyakit ini berkembang secara lambat, dan mungkin gejala yang lebih berat tidak terlihat sampai usia dewasa.

D
. Masuknya Agen ke Air
Masuknya agen ke dalam air salah satunya disebabkan oleh penderita yang mencuci matanya di sumber air. Bakteri juga dapat berasal dari tubuh lalat yang membawa agen. Selain itu, mencuci sapu tangan penderita di sumber air juga dapat mencemari air.

E. Masuknya Agen Trachoma Dari Sumber Air Ke Mata
            Agen trachoma dapat masuk dan menimbulkan penyakit manusia akibat kurangnya akses terhadap air bersih. Air yang sudah tercemari dengan cara-cara di atas dapat menempel di baju yang dicuci bersama sapu tangan tercemar. Baju kita tidak dapat mengetahui di mana bakteri Chlamydia menempel. Akan tetapi, tanpa kita sadari baju tadi menyentuh mata kita. Padahal bagian yang menyentuh mata kita adalah bagian yang mengandung bakteri Chlamydia. Demikian juga jika manusia sehat cuci muka dengan menggunakan air yang sudah tercemar bakteri chlamydia. Setelah melewati waktu inkubasinya,gejala-gejala awal konjungtiva akibat aktivitas Chlamydia dimulai. Selain itu, lalat juga bisa menjadi vektor perantara penyakit ini.

F. Upaya Pencegahan
            a. Upaya Pencegahan Penyebaran Lewat Air
     Penelitian menunjukkan bahwa upaya pengobatan dengan antibotik mampu mereduksi 14-36% kejadian infeksi trachoma 12 bulan setelah pelakuan. Harus diakui hasil ini tidak menjanjikan eradikasi penyakit pada masa yang akan datang karena selama 12 bulan mata pasien tetap dapat menjadi sumber penyakit dan dapat ditularkan kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam penanganan penyakit ini dibutuhkan upaya pencegahan secara menyeluruh.
    Tujuan dari upaya pencegahan adalah untuk memutus daur transmisi dan mengeleminasi penyebaran penyakit. Upaya pencegahan penyakit trachoma salah satu di antaranya adalah dengan mengintervensi lingkungan. Caranya adalah dengan membangun sarana sanitasi yang baik dengan sistem pengolahan air limbah yang sehat. Para penduduk diajari agar terbiasa mencuci pakaian di tempat khusus, bukan di sungai. Air limpasannya dapat diolah dengan menggunakan bak kontrol dan activity sludge. Sehingga air bekas mencuci pakaian yang tercemar bakteri chlamydia tidakmasuk ke badan air. Warga juga disuluh agar senantiasa menggunakan sabun dalam setiap aktivitasnya menggunakan air. Aktivitas ini mencakup mencuci pakaian, piring, bahkan mencuci tangan sebelum makan, minum, dan beraktivitas sehingga peluang menularnya bakteri lewat tangan dapat diperkecil.  
Selain itu, perlu dibangun akses terhadap air bersih yang tertutup. Warga mungkin dapat tetap menggunakan sumur gali asal sumur selalu ditutup setelah dipakai. Cara yang lumayan aman adalah dengan menggunakan pompa tangan. Output dari pompa tangan adalah air yang murni berasal dari air tanah tanpa terkontaminasi bakteri dari luar.
Sumber air tetap dapat tercemar tanpa adanya perubahan perilaku yang sehat dari masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan sarana-sarana tadi harus diikuti dengan intervensi perilaku masyarakat. Perilaku utama yang harus diintervensi adalah perilaku untuk terbiasa menggunakan sarana yang sudah ada untuk mandi dan mencuci baju serta tidak melakukan aktivitas tadi di sumber air langsung.
b. Upaya Pencegahan Masuknya Agen Dari Air Ke Manusia Sehat
Transmisi dimulai ketika bakteri dari mata penderita pindah ke orang lain yang tidak terinfeksi. Ketika sumber air yang ada telah tercemar, maka warga harus dihimbau untuk tidak lagi menggunakan sumber air tersebut hingga dapat dipastikan dengan benar bahwa agen penyakit benar-benar telah dapat dihilangkan. Itulah mengapa salah satu komponen penting dalam pemberantasan trachoma adalah tersedianya air bersih yang adekuat. Tanpa suplai air bersih yang adekuat sangatlah tidak mungkin mengarahkan anak-anak untuk mencuci tangan dan wajahnya.

G. Trachoma Menjadi Masalah Kesehatan di Indonesia
Trachoma tidak menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat di profil kesehatan Indonesia tahun 2007 dimana kejadian trachomatis tidak termasuk dalam daftar penyakit yang sedang mewabah. Laporan yang sama juga dapat dilihat di kabupaten Nias, Asahan, dan Situbondo. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa meremehkannya dengan membiarkan higienitas masyarakat Indonesia tetap buruk.

H. Materi Penyuluhan yang Cocok Untuk di Sampaikan Kepada       Masyarakat Sekolah
Materi penyuluhan yang baik adalah materi yang disusun selain berlandaskan dasar keilmuan juga berdasarkan latar belakang sosial budaya masyarakat tempat kasus terjadi. Selain itu, materi juga harus disesuaikan dengan latar belakang penerima, apakah mereka anak-anak, orang tua, atau guru. Untuk penyakit trachoma, materi penyuluhan dapat diberikan kepada anak-anak, orang tua, dan guru. Tiga domain ini saya rasa adalah pihak yang paling berperan dalam praktik dan upaya perubahan perilaku.
Anak-anak perlu mendapatkan penyuluhan karena usia yang paling rentan terinfeksi adalah anak-anak. Mereka berada dalam posisi yang paling rentan karena biasanya anak kecil belum bisa membedakan tempat main yang bersih dan yang kotor. Pengetahuan mereka yang minim akan tempat-tempat dan cara penularan penyakit juga menjadi salah satu faktor pemungkin. Faktor lain yang juga dianggap berpengaruh adalah imunitas. Sistem imun anak-anak masih belum sempurna untuk menahan infeksi Chlamydia. Sedangkan orangtua perlu mendapatkan penyuluhan karena merekalah yang mengurus keseharian anak mereka, memandikannya, dan sebagainya. Para guru juga perlu mendapatkana penyuluhan agar mereka dapat mengembangkan program-program di sekolah yang berbasiskan praktik personal hygiene.

I. Gambaran Klinik 4 stadium
            a. Stadium I
            Stadium I; disebut stadium insipien atau stadium permulaan, didapatkan terutama folikel di konjungtiva tarsal superior, pada konjungtiva tarsal inferior juga terdapat folikel, tetapi ini tidak merupakan gejala khas trakoma. Pada kornea di daerah limbus superior terdapat keratitis pungtata epitel dan subepitel. Kelainan kornea lebih jelas apabila diperiksa dengan melakukan tes fluoresin, dimana akan terlihat titik-titik hijau pada defek kornea.
          b. Stadium II
          Stadium II; disebut stadium established atau nyata, didapatkan folikel-folikel di konjungtiva tarsal superior,beberapa folikel sudah matur berwarna lebih abu-abu. Pada kornea selain keratitis pungtata superficial, juga terlihat adanya neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke arah kornea bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan neovaskularisasi tersebut dikenal sebagai pannus.
          c. Stadium III
          Stadium III; disebut stadium parut, dimulai terbentuknya sikatriks pada folikel konjungtiva tarsal superior yang terlihat sebagai garis putih halus. Pannus pada kornea lebih nyata. Tidak jarang pada stadium ini masih terlihat trikiasis sebagai penyakit. Pada stadium ini masih dijumpai folikel pada konjungtiva tarsal superior.
          d. Stadium IV
          Stadium IV; disebut stadium penyembuhan. Pada stadium ini, folikel pada konjungtiva tarsal superior tidak ada lagi, yang ada hanya sikatriks. Pada kornea bagian atas pannus tidak aktif lagi. Pada stadium ini dijumpai komplikasi-komplikasi seperti entropion sikatrisiale, yaitu pinggir kelopak mata atas melengkung ke dalam disebabkan sikatriks pada tarsus. Bersamaan dengan enteropion, bulu-bulu mata letaknya melengkung kedalam menggosok bola mata (trikiasis). Bulu mata demikian dapat berakibat kerusakan pada kornea, yang mudah terkena infeksi sekunder, sehingga mungkin terjadi ulkus kornea. Apabila penderita tidak berobat, ulkus kornea dapat menjadi dalam dan akhirnya timbul perforasi.

J. Pengobatan
            a. Secara Kimiawi
            Pengobatan meliputi pemberian salep antibiotik yang berisi tetrasiklin dan erithromisin selama 4 – 6 minggu. Selain itu antibiotik tersebut juga bisa
diberikan dalam bentuk tablet.
§ Doksisiklino Sediaan : kapsul atau tablet 100 mg (HCl)
o Dosis dewasa 100 mg per oral 2 x sehari selama 7 hari atau
§ Tetrasiklino Sediaan salep mata 1% (HCl)
o Dosis dewasa 2 x sehari selama 6 minggu
          Perbaikan klinik mencolok umumnya dicapai dengan tetracycline,1-1,5 g/ hari per os dalam empat dosis selama 3-4 minggu ; doxycycline,100 mg per os 2 kali sehari selama 3 minggu; atau erythromycin, 1 g / hari per os dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu. Kadang-kadang diperlukan beberapa kali kur ( pengobatan) agar benar –benar sembuh. Tetracycline sistemik jangan diberi pada anak dibawah umur 7 tahun atau untuk wanita hamil. Karena tetracycline mengikat kalsium pada gigi yang berkembang dan tulang yang tumbuh dan dapat berakibat gigi permanen menjadi kekuningan dan kelainan kerangkan (mis, clavicula).
          Salep atau tetes topikal, termasuk preparat sulfonamide, tetracycline, erythromycin dan rifampin, empat kali sehari selama enam minggu, sama efektifnya.
          Saat mulai terapi, efek maksimum biasanya belum dicapai selama 10 – 12 minggu. Karena itu, tetap adanya folikel pada trasesus superior selama beberapa minggu setelah terapi berjalan jangan dipakai sebagai bukti kegagalan terapi.
Koreksi bulu mata yang membalik kedalam melalui bedah adalah esensial untuk mencegah parut trachoma lanjut di Negara berkembang. Tindakan bedah ini kadang –kadang dilakukan oleh dokter bukan ahli mata atau orang yang dilatih kusus.
          b. Secara Tradisional
            Beberapa tanaman obat yang diyakini mampu mengobati trakoma adalah :
  • Daun saga secukupnya direbus dengan air secukupnya. Setelah dingin, disaring kemudian airnya digunakan untuk mencuci mata.
  • 10 gram akar mondokaki, 10 gram daun saga, 15 gram daun tempuh wiyang, dan 10 gram secang direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Setelah dingin, airnya disaring kemudian digunakan untuk mencuci mata.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.  Apa saja faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit trachoma ?
1.      Kualitas sanitasi dan air
2.      Personal hygiene
3.      Kemiskinan
4.      Kepadatan penduduk
2. Apakah trachoma menjadi masalah kesehatan di Indonesia ?
          Trachoma tidak menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat di profil kesehatan Indonesia tahun 2007 dimana kejadian trachomatis tidak termasuk dalam daftar penyakit yang sedang mewabah. Laporan yang sama juga dapat dilihat di kabupaten Nias, Asahan, dan Situbondo. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa meremehkannya dengan membiarkan higienitas masyarakat Indonesia tetap buruk.
3. Bagaimana upaya pencegahan penyakit trachoma ?
    Caranya adalah dengan membangun sarana sanitasi yang baik dengan sistem pengolahan air limbah yang sehat. Para penduduk diajari agar terbiasa mencuci pakaian di tempat khusus, bukan di sungai. Air limpasannya dapat diolah dengan menggunakan bak kontrol dan activity sludge. Sehingga air bekas mencuci pakaian yang tercemar bakteri chlamydia tidakmasuk ke badan air. Warga juga disuluh agar senantiasa menggunakan sabun dalam setiap aktivitasnya menggunakan air. Aktivitas ini mencakup mencuci pakaian, piring, bahkan mencuci tangan sebelum makan, minum, dan beraktivitas sehingga peluang menularnya bakteri lewat tangan dapat diperkecil.  

Daftar pustaka
• Brunner and suddarth. ( 2001 ). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa : dr. H.Y. Kuncara dkk.Jakarta : EGC
• Sidharta Ilyas. ( 2001 ).Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Penerbit FKUI
·  Di akses pada GOOGLE jam 15:23 tanggal 4 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar