BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya pertumbuhan populasi di dunia memunculkan
pertanyaan bagaimana kebutuhan makanan dapat dipenuhi. Hal tersebut sangat
jelas bahwa peningkatan suplai makanan penting untuk memenuhi kebutuhan gizi
untuk setiap orang. Pengembangan metode produksi, pascapanen, penyimpanan,
pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pemasaran yang lebih baik sangat
penting untuk menghasilkan penggunaan buah-buahan, sayuran, dan produk
pertanian dan perikanan lainnya yang lebih efisien (Larousse, 1997).
Sebagai kebutuhan dasar manusia makanan yang kita
konsumsi hendaknya bersih dan memiliki kandungan gizi yang lengkap.
Perkembangan industri pangan yang memberikan perubahan baik secara kualitatif
atau kuantitatif pada makanan menyebabkan perkembangan bahan makanan maju
pesat, baik itu untuk pengawet, perasa, tekstur/warna dari makanan. Konsumen
membutuhkan makanan yang segar, murah dan mudah disajikan sebagai tuntutan
zaman yang makin praktis. Tuntutan kepentingan ekonomi dan semakin kompleksnya
permasalahan pangan diikuti dengan pertumbuhan bahan-bahan kimia sebagai
pengawet. Menurut hasil penelitian terdapat 2.500 variasi kimia. Bahan-bahan
tambahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas bahan makanan, penambahan bahan
tambahan tersebut dapat memperpanjang waktu kadaluarsa bahan pangan,
meningkatkan aroma dan penampilan bahan pangan. Dengan pengawetan, makanan bisa
disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan dan sangat menguntungkan produsen.
Pengalengan adalah cara pengolahan makanan untuk
memperluas kehidupan rak. Idenya adalah untuk membuat makanan yang tersedia dan
bisa dimakan lama setelah waktu pemrosesan. Meskipun makanan kalengan sering
diasumsikan rendah nilai gizi (akibat proses pemanasan), beberapa kaleng
makanan yang bergizi unggul-dalam beberapa cara-bentuk alami mereka. Secara
umum, masyarakat luas sudah mengetahui produk pengalengan itu seperti apa,
namun hanya sedikit yang mengetahui mengenai sejarah pengalengan. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah pengalengan dan
pengalengan secara umum.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah pengalengan makanan?
2. Apa
pengertian pengalengan?
3. Bagaimana
prinsip pengalengan makanan?
4. Bagaimana
mekanisme pengalengan makanan?
5. Bagaimana
proses pengalengan makanan?
6. Apa
keuntungan dan kelemahan pengalengan makanan?
7. Mikroba
apa yang menyebabkan kebusukan makanan kaleng?
8. Bagaimana
pengaruh proses pengolahan panas dalam pengalengan terhadap nilai gizi?
9. Bagaimana
kerusakan pada produk kaleng?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah pengalengan makanan.
2. Mengatahui
apa pengertian pengalengan.
3. Mendeskripsikan
bagaimana prinsip pengalengan makanan.
4. Mendeskripsikan
bagaimana mekanisme pengalengan makanan.
5. Mendeskripsikan
bagaimana proses pengalengan makanan.
6. Untuk
mengetahui apa saja keuntungan dan kelemahan pengalengan makanan.
7. Untuk
mengetahui mikroba apa yang menyebabkan kebusukan makanan kaleng.
8. Mendeskripsikan
bagaimana pengaruh proses pengolahan panas dalam pengalengan terhadap nilai
gizi.
9. Mendeskripsikan
bagaimana kerusakan pada produk kaleng.
1.4 Metode Penelitian
Metode
yang di gunakan dalam penyusunan makalah ini merupakan metode tinjauan
kepustakaan yang bertujuan untuk mempelajari buku-buku dan sumber internet yang
relevan dengan masalah yang di teliti karena penyusun tidak melakukan tinjauan
secara langsung terhadap objek pengamatan.Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana proses pengalengan makanan.
1.5 Manfaat Penulisan
1.
Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sumbangsih dalam rangka
meningkatkan ketahanan pangan dengan cara meningkatkan dan memperketat
standardisasi untuk industri pangan.
2.
Bagi Dosen
Bisa dijadikan sebagai acuan dan
sumbangsih dalam mengajar terutama pada materi ini agar para peserta didiknya
dapat berprestasi lebih baik di masa yang akan datang.
3.
Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian
dalam pembelajaran dan dalam rangka meningkatkan prestasi diri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengalengan
Pada tahun 1804 pada belahan benua Eropa. Disana
terdapat sesorang yang kiat mengembangkan produk komersil berupa makanan kaleng
,dia adalah Nicholas Appert.
Orang yang pertama kali menemukan cara mengawetkan makanan di dalam kaleng atau
istilahnya dengan pengalengan. Usahanya dimulai pada tahun 1795 dan baru membuahkan
hasil sembilan tahun kemudian pada tahun 1804.
Pada saat itu juga para ilmuwan mencoba menjelaskan
mengapa makanan yang dipanaskan itu bisa awet dan saat itu pula menjadi
perdebatan yang sangat ramai bagi kalangan ilmuwan. Kemudian ada seorang ilmuwan
yang namanya tidak asing bagi kita yaitu Louis Gay-Lussac menjelaskan mengapa
makanan yang dipanaskan bisa awet. Lussac menjelaskan bahwa penyebab
kerusakan makanan adalah adanya oksigen. dengan pemanasan, oksiden terusir
keluar melalui uap air dari panas sehingga makanan jadi awet. Pernyataan Lussac
tersebut salah.
Menurut Choles (2003), pada tahun 1861 Louis Pasteur
memberikan penjelasan bahwa sebetulnya pemanasan dapat membunuh mikroba dan
penutupan botol secara rapat dapat mencegah masuknya mikroba makanan. Dengan
pernyataan tersebut timbulah mekanisme pengawetan makan dengan istilah pateurisasi dimana
teknik tersebut melibatkan suhu yang lebih rendah dari pada suhu sterilisasi
Appert. Sehingga makanan yang diawetkan dengan pateurisasi tersebut mempunyai
rasa lebih enak dari cara Appert. Kemudian teknik tersebut diaplikasikan
untuk mengawetkan makanan yang bersifat asam seperti buah dan asinan.Karena
secara alami produk-produk tersebut bersifat asam,yang memiliki daya bunuh
terhadap mikroba sehingga tidak lagi memerlukan sterilisasi secara total. Atas
karyanya yang luar biasa tersebut,pada tahun 1809 Appert menerima hadiah 1200
Franc dari pemerintah Perancis.
Fenoma ini kemudian berkembang pada Negara Inggris
pada saat itu. Para ahli pangan dan industriawan mendirikan pengwetan makanan
dengan menggunkan pemanasan. Lain halnya dengan Nicholas Appert yang
mengawetkan makanan dengan cara mendidihknya selama berjam-jam dalam botol
gelas bersih yang tertutup rapat dengan gabus. Di Inggris pada tahun 1810 Peter
Durand menemukan pengawetan makanan dengan kemasan kaleng. Kemudian tahun 1851
diselenggarakan pameran makanan,mulai saat itulah makanan kaleng melambung
pesat. Kemudian Angkatan Laut Inggris menginginkan makanan kaleng yang murah
pada kontraktor pabrik makanan kaleng. Sehingga banyak pabrik memotong biaya
pengolahan dan bahan mentah. Akibatnya mutu dari makanan kaleng tersebut
menurun yang menyebabkan reputasi mkanan kaleng tersebut menurun juga. Pada
tahun 1890-an Samuel Cate Presscot dan William Lyman Underwood menjelaskan
ilmiah pasteurisasi dengan ilmu dan teknologi modern sehingga proses
sterilisasi makanan dapat dikendalikan secara baik dan tepat.
2.2 Pengertian Pengalengan
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara
pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air,
mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan
secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan
pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dari
kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita
rasa.
Definisi lain dari pengalengan yaitu metode pengawetan
makanan dengan memanaskannya dalam suhu yang akan membunuh mikroorganisme, dan
kemudian menutupinya dalam stoples maupun kaleng. Karena adanya bahaya
botulinin ( penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum), satu-satunya metode yang aman untuk
mengalengkan sebagian besar makanan adalah dalam panas dan tekanan tinggi.
Makanan yang harus dikalengkan termasuk produk sayur-mayur, daging, makanan
laut, susu, dan lain-lain. Satu-satunya makanan yang mungkin bisa dikalengkan
dalam wadah air masak (tanpa tekanan tinggi) adalah makanan asam seperti buah,
sayur asin, atau makanan lain yang ditambahi asam.
Metoda pengalengan secara umum dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan metoda aseptik. Pada
metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang
telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam
autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan aseptik bahan pangan dan kemasan
dikerjakan secara terpisah. Bahan pangan diperlakukan sesuai dengan proses
termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu.
2.3 Prinsip
Pengalengan
Penggunaan panas pada pengawetan bahan makanan sudah
dikenal secara luas. Berbagai cara yang dilakukan seperti memasak, menggoreng,
merebus, atau pemanasan lainnya merupakan salah satu cara pengawetan bahan
makanan. Melalui perlakuan tersebut terjadi perubahan keadaan bahan makanan,
baik sifat fisik maupun kimiawi sehingga keadaan bahan ada yang menjadi lunak
dan enak dimakan. Pemanasan mengakibatkan sebagian besar mikroorganisme dan
enzim mengalami kerusakan sehingga bahan makanan yang telah dimasak lebih tahan
selama beberapa hari.
Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan
bahan pangan yang dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Metode
pengawetan tersebut ditemukan oleh Nicolas Appert, seorang ilmuwan Prancis. Di
dalam pengalengan makanan, bahan pangan dikemas secara hermetis (hermetic)
dalam suatu wadah, baik kaleng, gelas, atau aluminium. Pengemasan secara
hermetis dapat diartikan bahwa penutupannya sangat rapat, sehingga tidak dapat
ditembus oleh udara air, kerusakan akibat oksidasi, ataupun perubahan cita
rasa.
Daya awet makanan kaleng sangat bervariasi sangat
tergantung dari jenis bahan pangan, jenis wadah, proses pengalengan yang
dilakukan dan kondisi tempat penyimpanannya, tetapi jika proses pengolahannya
sempurna maka daya awet produk yang dikalengkan, akan lama. Kerusakan makanan
kaleng pada umumnya terjadi karena perubahan tekstur dan cita rasa dibandingkan
karena mikrooragnisme.
Tiga jenis bahan yang dipakai dalam proses pembuatan
kaleng, yaitu Electrolyte Tin Plate (ETP), Tin Free Steel (TFS), dan aluminium
(alum). Kebanyakan pengalengan menggunakan TF-CT lapisan baja yang dilapisi
kromium secara elektris. Segera setelah dilapisi kromium, terbentuklah lapisan
kromium oksida pada seluruh permukaannya. Jenis TFS memiliki beberapa
keunggulan di antaranya lebih murah harganya karena tidak menggunakan timah
putih dan lebih baik daya adhesinya terhadap bahan organic. Sedangkan
kelemahannya adalah lebih tinggipeluangnya untuk berkarat.
Penutupan
kaleng tahap pekerjaan yang sangat penting dalam pengalengan. Kaleng yang tidak
rapat mengakibatkan terjadinya kontaminasi dan ada udara masuk yang dapat
merusak makanan dalam kaleng. Untuk mencegah kebocorankaleng, maka kaleng
ditutup secara ganda lipatan dan pada sambunganya dilapisi dengan senyawa semen
atau lacquer bercampur karet.
2.4 Mekanisme Pengalengan Makanan
a.
Penanganan Bahan Kemasan
Standar
pengalengan makanan secara komersial sangat tinggi. Namun apabila terjadi
kecerobohan serta kesalahan dalam penanganan kaleng atau kemasan selama
pengolahan atau penyimpanan, maka akan menyebabkan kebocoran baik yang terjadi
selama pemanasan atau sesudahnya.
b.
Penanganan Kaleng Kosong
Penanganan
kemasan kaleng sebelum pengolahan meliputi penanganan kaleng kosong. Penanganan
kaleng yang kasar dapat menyebabkan kebocoran kaleng. Kesempurnaan bentuk
kaleng perlu mendapat perhatian, karena tonjolan bagian permukaan atau mulut
kaleng yang berhubungan dengan tutup dapat mengakibatkan ketidak sempurnaan
proses penutupan dan dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran.
c.
Penanganan Selama
Penutupan Kaleng (double seam)
Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam hal penanganan kaleng adalah bahwa selalu ada kemungkinan
bakteri akan masuk kembali dan mencemari produk yang telah di sterilisasi. Oleh
karena itu integritas sambungan dan penutupan kaleng merupakan faktor penting.
d.
Penanganan Selama
Proses Termal
Pemeriksaan alat
pengangkutan kaleng menuju retort harus diperiksa secara periodik untuk
meyakinkan kelancaran proses dan tidak merusakkan kemasan kaleng.
e.
Penanganan Selama
Pendinginan/Cooling
Prosedur pendinginan
perlu dibakukan, terutama untuk mengontrol perubahan atau perbedaan tekanan
yang terjadi karena proses pendinginan yang terlalu tiba-tiba.
f.
Penanganan Kaleng
Setelah Pendinginan
Setelah pendinginan,
kaleng dalam keranjang retort dikeluarkan dari retort. Pada tahap selanjutnya,
kebersihan atau sanitasi peralatan yang kontak dengan kemasan kaleng menjadi
sangat penting.
2.5 Proses Pengalengan Makanan
Pada dasarnya, proses pengalengan bahan pangan nabati
meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : sortasi, pencucian, pengupasan,
pemotongan, blanching, pengisian, exhausting, penutupan, processing (sterilisasi),
pendinginan, penyimpanan, dan pengujian mutu makanan kaleng.
a.
Proses Sortasi dan Pencucian
Dalam tahap
proses sortasi dilakukan pemilihan buah yang akan dikaleng-kan yang bermutu
baik, tidak busuk, cukup tua akan tetapi tidak terlalu matang. Buah yang
kelewat matang tidak cocok untuk dikalengkan karena tekstur buah-nya akan
semakin lunak, sehingga menyebabkan tekstur yang hancur setelah pemanasan dalam
autoklaf. Setelah bahan disortasi, bahan kemudian dicuci atau dibersihkan
dengan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran
yang melekat pada bahan sehingga diharapkan akan menurunkan populasi mikroba,
menghilangkan sisa-sisa insektisida, mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan
sejenis malam yang melapisi kulit buah-buahan.
b.
Proses Pengupasan Kulit, Pembuangan Biji dan
Pemotongan
Bagian yang akan
dikalengkan adalah bagian buah yang lazim dimakan/ dikonsumsi, yang biasanya
berupa daging buah. Oleh karena itu, bagian-bagian yang tidak berguna, seperti
kulit, biji, bongkol, dsb dilakukan pembuangan. Pengupasan dapat dilakukan
dengan manual yaitu dengan pisau sebaiknya stainkess steel, secara mekanis atau
dengan larutan alkali dengan cara konsentrasi larutan alkali (NaOH) yang
dipakai tergantung dari jenis dan tingkat kematangan bahan, umumnya sekitar 1,5
– 2 %, pada cara pengelupasan dengan NaOH, bahan biasanya direndam dalam
larutan tersebut, kemudian dicuci dengan air yang telah ditambah asam. Bagian
daging buah yang akan dimakan kemudian dilakukan proses pemotongan, sesuai
dengan ukuran yang dikehendaki dan ukuran kaleng. Pemotongan atau pengecilan
ukuran dilakukan dengan untuk mempermudah pengisian bahan ke dalam kaleng dan
menyeragamkan ukuran bahan yang akan dimasukan. Selain itu, pengecilan ukuran
juga bertujuan untuk mempermudah penetrasi panas. Jika pemotongan dilakukan
dengan sembarangan, maka akan mengakibatkan diskolorisasi, yaitu timbulnya
warna yang gelap atau hilangnya warna asli maupun pemucatan warna.
c.
Proses Blanching
Pemblanchingan
merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba patogen.
Blanching adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan
ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat
Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam
bahan, ukuran, dan derajat kematangan. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan
bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan,
dibekukan, atau dikeringkan. Proses blanching ini berguna untuk ;
1.
membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal
2.
meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan
3.
membuang udara yang masih ada di dalam jaringan
4.
menginaktivasi enzim
5.
menghilangkan rasa mentah
6.
mempermudah proses pemotongan (cutting, slicing, dan lain-lain)
7.
mempermudah pengupasan
8.
memberikan warna yang dikehendaki
9.
mempermudah pengaturan produk dalam kaleng.
Enzim dan
mikroorganisme sering menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki
pada bahan pangan, seperti pencokelatan enzimatis, perubahan flavor, dan terjadinya
pembusukan. Blanching akan menginaktifkan enzim, baik oksidasi maupun
hidrolisis, serta menurunkan jumlah mikroba pada bahan. Di dalam proses
blanching buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas yaitu
enzim katalase dan peroksidase, kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih
tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain. Apabila tidak ada
lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah
diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi
dengan baik. Lamanya proses blanching dipengaruhi beberapa faktor, seperti
ukuran bahan, suhu, serta medium blanching.
Pencegahan
kontaminasi mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan pangan dengan
baik. Bahan baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan dalam
lemari pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat
patogen.
Proses blansing
dapat dilakukan dengan cara mencelup potongan-potongan buah dalam air mendidih
selama 5–10 menit. Lama pencelupan tergantung jenis dan banyak sedikitnya buah
yang akan diolah. Secara umum, proses blansing perlu memperhatikan hal-hal
berikut :
1.
Proses blansing harus dilakukan sesuai dengan suhu dan waktu blansing yang
telah ditetapkan
2.
Air yang digunakan untuk proses blansir harus diganti secara rutin
3.
Suhu akhir produk setelah blansir harus sudah mencapai suhu yang telah
ditetapkan; dan
4.
Produk yang telah diblansir tidak boleh dibiarkan melebihi waktu maksimum
yang diijinkan.
d.
Proses pengisian
1.
Pembuatan medium
Medium yang
dipergunakan untuk pengalengan ini ada 2 macam, yaitu medium larutan gula yang
dipergunakan untuk pengalengan buah dan cincau. Medium yang dipergunakan untuk
untuk sop sayur adalah kuah sop yang telah dimasak dengan rempah-rempah.
Medium digunakan
dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus tergantung produk yang akan
dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk mempercepat penetrasi panas
dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan berkurangnya akumulasi udara.
2.
Proses memasukkan potongan buah ke dalam kaleng
Potongan buah
yang telah diblansing kemudian dimasukkan ke dalam kaleng. Penyusunan buah
dalam wadah diatur serapi mungkin dan tidak terlalu penuh. Pada saat pengisian
perlu disisakan suatu ruangan yang disebut dengan head space.
3.
Proses pengisian medium
Kemudian
dituangkan larutan sirup, larutan garam, kaldu atau saus. Sama halnya dengan
pada saat pengisian buah, pengisian sirop juga tidak dilakukan sampai penuh,
melainkan hanya diisikan hingga setinggi sekitar 1-2 cm dari permukaan kaleng.
Perlu diusahakan bahwa pada saat pengisian larutan tersebut, semua buah dalam
kondisi terendam.
e.
Proses exhausting
Kaleng yang
telah diisi dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan
gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk
memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan, sehingga
1.
Mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng karena tekanan dalam
kaleng yang terlalu tinggi (terutama pada saat pemanasan dalam retort), sebagai
akibat pengembangan produk, dan
2.
Mengurangi kemungkinan terjadinya proses pengkaratan kaleng dan
reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang akan menurunkan mutu.
Tingkat
kevakuman kaleng setelah ditutup juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir,
karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain dengan cara:
1.
Melakukan pengisian produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam
kondisi panas,
2.
Memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka, atau
3.
Secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.
Suhu dalam ruang
exhausting adalah 80 – 90oC dan proses berlangsung selama 8-10 menit.
Suhu produk ketika keluar dari exhauster adalah sekitar 60 - 70°C. Pada setiap
selang waktu tertentu dilakukan pengecekan suhu produk yang keluar dari
exhauster, apakah suhu produk yang diinginkan tercapai atau tidak.
f.
Proses penutupan kaleng
Setelah proses
exhausting kaleng segera ditutup dengan rapat dan her-metis pada suhu yang
relatif masih tinggi. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi
pula tingkat kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng
juga merupakan hal yang sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng
sangat tergantung pada kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian sambungan dan
penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar. Penutupan
yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan
kebusukan. Penutupan kaleng yang dilakukan sedemikian rupa, diharapkan baik
udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam,
sehingga keawetannya dapat dipertahankan.
g.
Proses sterilisasi
Setelah proses
penutupan kaleng selesai, maka kaleng dimasukkan ke dalam keranjang yang
dipersiapkan untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan dalam
autoclave, untuk koktail buah dan cincau digunakan suhu 100°C dengan tekanan
0,8 bar selama 30 menit sedangkan untuk sayuran digunakan suhu 115-121°C dengan
tekanan 1,05 bar selama 45-60 menit.
Sterilisasi
merupakan proses untuk mematikan mikroba. Pada perinsipnya ada dua jenis
sterilisasi yaitu sterilisasi total dan sterilisasi komersial. Sterilisasi
komersial yang ditetapkan di industri pangan merupakan proses thermal. Karena
digunakan uap air panas atau air digunakan sebagai media pengantar panas,
sterilisasi ini termasuk kedalam sterilisasi basah.sterilisasi komersial harus
disertai dengan kondisi tertentu yang mungkin mikroba masih hidup dan dapat
berkembang didalamnya.
Sterilisasi
total adalah sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme sehingga
mikroba tidak lagi dapat berkembangbiak didalam suatu wadah/bahan pangan. Pada
sterilisasi total ini jika dilaksanakan maka tidak akan terdapat lagi
mikroba-mikroba yang berbahaya terutama pada Clostidium botilinum (Winarno,
1994). Selain bertujuan untuk mematikan semua mikroba penyebab kerusakan,
proses sterilisasi ini juga bertujuan untuk memasakkan bahan sehingga bahan
mempunyai tekstur, rasa dan kenampakan yang diinginkan. Bahan dengan keasaman
tinggi (acid food) tidak memerlukan suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, untuk
itulah pada pengalengan koktail buah dan cincau suhu sterilisasi yang
dipergunakan adalah 100oC dengan tekanan 0,8 bar, pada kondisi asam tersebut,
mikroorganisme pembusuk dapat dimatikan. Berbeda halnya dengan sayuran yang
mempunyai pH > 4,5 atau bahan makanan dengan keasaman rendah (low acid food)
yang dimana sterilisasi pada suhu 100°C tidak akan efektif mematikan semua
mikroba. Oleh karena itu digunakan suhu 121°C dengan tekanan 1,05 bar. Pada
suhu dan tekanan tersebut maka semua mikroorganisme patogen dan pembusuk akan
mati. Kondisi proses sterilisasi sangat tergantung pada berbagai faktor, antara
lain :
1.
Kondisi produk pangan yang disterilisasikan (nilai pH, jumlah
mikroorganisme awal, dan lain-lain)
2.
Jenis dan ketahanan panas mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan.
3.
Karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah (kaleng).
4.
Medium pemanas.
5.
Kondisi penyimpanan setelah sterilisasi
h.
Proses pendinginan
Setelah proses
sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin. Pendinginan pasca
sterilisasi menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup besar
yang dapat menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Untuk
itu perlu dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan
mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya dilakukan
secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimatikan maka
segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan
udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya
kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak. Pendinginan dilakukan secepatnya
setelah proses sterilisasi selesai untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri,
terutama bakteri termofilik. Pendinginan dimulai dengan membuka saluran air
pendingin dan menutup keran - keran lainnya.
Air pendingin
dapat dialirkan melalui dua saluran, yaitu bagian bawah dan bagian atas retort.
Pemasukan air mula-mula dilakukan secara perlahanlahan agar tidak terjadi
peningkatan tekanan secara drastis. Peningkatan tekanan secara drastis tersebut
harus dicegah karena dapat menyebabkan kaleng menjadi penyok atau rusak pada
bagian pinggirnya disebabkan kaleng tidak mampu menahan kenaikan tekanan
tersebut. Air dialirkan dari bagian bawah dahulu agar secara bertahap dapat
meng-kondensasikan sisa uap yang ada dan baru bagian atas dibuka. Pada saat
retort telah penuh dengan air, aliran dapat lebih deras dialirkan. Selama proses
pendinginan berlangsung, perlu dilakukan pengontrolan tekanan secara terus
menerus untuk mencegah terjadinya koleps pada kaleng, yaitu terjadinya penyok
pada kaleng disebabkan tekanan yang terlalu tinggi. Proses pendinginan
dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah men-capai 38-42°C. Aliran
air pendingin kemudian dihentikan dan air dikeluarkan. Tutup retort dibuka dan
keranjang diangkat dari retort.
i.
Pengeringan
Setelah kaleng
dikeluarkan dari retort, maka kaleng dikeringkan dan dibersihkan, untuk
mencegah korosi atau pengkaratan pada sambungan kaleng. Pengeringan dan
pembersihan kaleng ini perlu dilakukan untuk mencegah rekontaminasi (debu atau
mikroba) yang lebih mudah menempel pada kaleng yang basah.
j.
Penyimpanan
Setelah itu
disimpan dalam suhu ruang untuk mengetahui daya simpan dan efektifitas
sterilisasi. Pengamatan dilakukan selama 1 minggu dan kaleng disimpan pada suhu
40-50oC. Jika dalam 1 minggu tersebut ada kaleng yang menggembung, maka proses
sterilisasi tidak berjalan dengan baik dan hal ini ditandai dengan masih adanya
aktivitas mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa
sebagian besar produk masih dalam keadaan baik setelah disimpan selama 1
minggu. Meskipun keseluruhan proses pengalengan bisa dikatakan aseptis, namun
tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kerusakan, baik karena berlalunya
masa simpan (kadaluwarsa) ataupun karena kurang sempurnanya proses pengalengan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut, yaitu antara
lain:
1.
Pengkaratan tinplate, terutama pada bahan pangan bersifat asam, karena
pelepasan hidrogen.
2.
Reaksi kiamia, misalnya reaksi kecoklatan nonezimatis atau pembebasan timah
oleh nitrat dan sebagainya.
3.
Penggelembungan karena adanya CO2.
4.
Operasi autoklaf yang salah terutama setelah pendinginan.
5.
Exhausting yang kurang dan pengisian berlebih akan membawa akibat berlebihnya tekanan
selama pemanasan.
6.
Pertumbuhan mikroba sebagai akibat tidak adanya pemanasan atau pemanasan
yang kurang sempurna, pembusukan bahan sebelum diolah, pencemaran sesudah
diolah sebagai hasil lipatan kaleng yang cacat atau pendinginan yang kurang.
7.
Fluktuasi tekanan atmosfer.
8.
Suhu dan waktu pemanasan yang tidak memadai selama sterilisasi dapat
mengakibatkan tumbuhnya Clostridium
botulinum. Clostridium botulinum
merupakan bakteri termofilik (tahan panas) yang dapat hidup dalam kondisi
anaerobik (tidak ada oksigen).
k.
Pengujian Mutu
Makanan Kaleng
Pengawasan pada produksi makanan yang dikalengkan harus dilakukan selama
persiapan bahan mentah dan pemanasan, untuk itu perlu dilakukan pengujian
secara fisik dan kimiawi serta pengujian secar mirobiologis. Jika prosedur
pengalengan dilakukan dengan benar dan sanitasinya diperhatikan, maka kerusakan
makanan kaleng jarang terjadi. Tetapi jika terjadi juga, maka identifikasi
jenis mikroba penyebabnya akan sangat membantu usaha yang harus dikerjakan
untuk mencegah akan terulang lagi.
1.
Pengujian Secara Fisik Dan
Kimia
Pengujian secara fisik dan kimia harus dapat memberikan penjelasan mengenai
suara wadah bila dipukul secara mekanis, kenampakan wadah, terdapat atau
tidaknya garam metal berbahaya dalam produk. Pemeriksaan yang teliti harus
dilakukan terhadap keadaan badan atau tutup kaleng. Adanya lekukan pada badan
kaleng atau keretakan pada gelas jars harus dicatat untuk pemeriksaan
selanjutnya.
Pengujian harus dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya kebocoran. Mutu
penutupan sebaiknya dilakukan selama proses pengalengan terjadi, untuk
menghindari banyaknya produk yang terbuang. Demikian juga mutu penutupan, baik
kaleng maupun gelas jars harus diuji setelah wadah dibuka. Produk makanan
kaleng harus diperiksa warna, kenampakan, dan baunya. Adanya penyimpangan bau
merupakan tanda adanya kebusukan, perubahan mungkin karena adanya reaksi antara
produk dengan kaleng.
Pada pabrik pengalengan yang besar dilakukan pula pengujian secara
organoleptik oleh panelis yang sudah terlatih. Untuk menguji mutu dan cita rasa
produk, panel tes itu juga berguna untuk menguji penerimaan produk-produk baru
oleh konsumen.
2.
Pengujian mikrobiologis
Pengujian mikrobiologis dilakukan untuk mengecek efektivitas sterilisasi,
mutu produk, jenis, dan jumlah mikroba yang masih hidup dalam wadah dan
penyebab kebusukan. Umumnya, pemeriksaan mikrobiologis memerlukan teknik dan
peralatan yang lebih khusus dibandingkan dengan pemeriksaan fisik dan harus
dilaksanakan oleh laboratorium yang berkompoten. Sebelum produk makanan kaleng
didistribusikan harus dilakukan penyimpanan terlebih dahulu selama 10 hari
untuk pemeriksaan. Selama waktu tersebut dilakukan pengamatan ada tidaknya
kebusukan, misalnya terjadi penggembungan kaleng atau terjadi kebocoran akibat
penutupan kurang baik. Apabila dengan pemeriksaan mikrobiologis ditemukan
produk makanan kaleng yang mengalami pembusukan maka dianggap mengandung racun Clostridium
botulinum.
Makanan kaleng yang mempunyai pH lebih besar dari 4,0 kebocoran wadah
biasanya ditunjukkan dengan adanya campuran flora mikroba. Adanya mikrokolus
atau khamir umumnya membuktikan adanya kebocoran.
2.6 Keuntungan dan Kelemahan Pengalengan
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai
wadah bahan pangan adalah :
a.
Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya.
b.
Kemasannya yang hermetis dapat menjaga produk dari kontaminasi oleh
mikroba, serangga, atau bahan asing lain penyebab pembusukan
c.
Memperpanjang lama penyimpanan
d.
Mempertahankan penampakan dan cita rasanya.
e.
Menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air
f.
Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain
dan bau
g.
Menjaga produk dari cahaya
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai
wadah bahan pangan adalah:
a.
Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya. Makanan yang ada di
dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi
oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan
kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasanya.
b.
Kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang
tidak diinginkan.
c.
Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas
lain, bau-bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer.
d.
Kaleng dapat menjaga terhadap cahaya, khususnya untuk bahan pangan berwarna
yang peka terhadap reaksi fotokimia.
Kelemahan produk kaleng,
adalah :
a.
Karena diolah dengan suhu tinggi, produk pengalengan aseptik umumnya kehilangan cita rasa segarnya.
b.
Pemanasan suhu tinggi juga menurunkan
nilai gizi produk. Khususnya komponen yang mudah rusak oleh panas.
Misalnya, vitamin dan lemak tak jenuh. Fortifikasi (penambahan) vitamin dapat
dilakukan untuk mengganti kehilangan selama proses.
c.
Produk kaleng juga umumnya kehilangan
sifat segar. Lihat saja teksturnya. Umumnya lebih lunak dari bahan
segarnya. Satu lagi yang tidak menguntungkan ialah timbulnya rasa “taint” kaleng (rasa seperti besi) yang
terkadang cukup mengganggu. Rasa ini timbul terutama bila coating kaleng
tidak sempurna.
2.7 Mikroba Penyebab Kebusukan Makanan Kaleng
Kebusukan makanan kaleng dapat disebabkan oleh kapang,
khamir dan bakteri. Tanda-tanda kebusukan makanan kaleng oleh mikroorganisme
dapat dilihat dari (a) penampakan abnormal dari kaleng (kembung, basah atau
label yang luntur), (b) penampakan produk yang tidak normal serta bau yang
menyimpang; (c) produk hancur dan pucat; dan (d) keruh atau tanda-tanda
abnormal lain pada produk cair. Dari ketiga jenis mikroba tersebut, bakteri
merupakan penyebab kerusakan yang utama.
a.
Kerusakan oleh kapang
Kapang mempunyai
kisaran pH pertumbuhan yang luas, yaitu 1.5-11.0. Kebanyakan kapang dapat hidup
pada aw> 0.70. Kebusukan makanan kaleng yang disebabkan oleh
kapang sangat jarang terjadi, tetapi mungkin saja terjadi. Kebanyakan kapang
tidak tahan panas sehingga adanya kapang pada makanan kaleng disebabkan oleh
kurangnya pemanasan (under process) atau karena terjadi kontaminasi setelah
proses. Kapang memerlukan oksigen untuk tumbuh sehingga pertumbuhan pada kaleng
hanya mungkin terjadi apabila kaleng bocor.
Kapang lebih
tahan asam, sehingga kapang terutama membusukkan makanan asam, seperti
buah-buahan asam dan minuman asam. Kapang seperti Bysochamys fulva, Talaromyces
flavus, Neosartorya fischeri dan lain-lain telah diketahui sebagai penyebab
kebusukan minuman sari buah kaleng dan produk-produk yang mengan-dung buah.
Spora kapang-kapang ini ternyata mampu bertahan pada pemanasan yang digunakan
untuk mengawetkan produk tersebut. Spora kapang ini tahan terha-dap pemanasan
selama 1 menit pada 92oC dalam kondisi asam atau pada makanan yang
diasamkan. Akan tetapi untuk mencapai konsistensi yang seperti ini, kapang
tersebut memerlukan waktu untuk membentuk spora, sehingga sanitasi sehari-hari
terhadap peralatan sangat penting untuk mencegah pertumbuhan kapang ini dan pembentukan
sporanya. Pada umumnya kapang yang tumbuh pada makanan yang diolah dengan panas
tidak menyebabkan penyakit pada manusia.
b.
Kerusakan oleh khamir
Khamir mempunyai
kisaran pH pertumbuhan 1.5-8.5. Namun kebanyakan khamir lebih cocok tumbuh pada
kondisi asam, yaitu pada pH 4-4.5, sehingga kerusakan oleh khamir lebih mungkin
terjadi pada produk-produk asam. Kebanyakan khamir dapat hidup pada aw>0.80.
Suhu lingkungan yang optimum untuk pertum-buhan khamir adalah 25-30oC
dan suhu maksimum 35-47oC. Beberapa khamir dapat tumbuh pada suhu 0oC
atau lebih rendah. Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, tetapi khamir
fermentatif dapat tumbuh secara anaerobik meskipun lambat.
Khamir hanya
sedikit resisten terhadap pemanasan, dimana kebanyakan khamir dapat terbunuh pada
suhu 77oC. Oleh karena itu, khamir dapat dengan mudah dibunuh dengan
suhu pasteurisasi. Jika makanan kaleng busuk karena pertumbuhan khamir, maka
dapat diduga pemanasan makanan tersebut tidak cukup atau kaleng telah bocor.
Pada umumnya kebusukan karena khamir disertai dengan pembentukan alkohol dan
gas CO2 yang menyebabkan kaleng menjadi kembung. Khamir dapat
membusukkan buah kaleng, jam dan jelly serta dapat menggembungkan kaleng karena
produksi CO2. Seperti halnya kapang, khamir yang tumbuh pada makanan
yang diolah dengan pemanasan tidak menyebabkan penyakit pada manusia.
c.
Kerusakan oleh bakteri
Kebanyakan
bakteri dapat hidup pada aw >0.90, sehingga kerusakan oleh
bakteri terutama terjadi pada produk-produk yang berkadar air tinggi. Beberapa
bakteri memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, yang disebut bakteri aerobik.
Untuk beberapa bakteri lainnya, oksigen bersifat racun. Bakteri ini dinamakan
anaerob. Contoh bakteri yang bersifat anaerobik adalah Clostridium. Ada juga
bakteri yang dapat tumbuh pada kondisi tanpa dan dengan adanya oksigen.
Kelompok ini disebut fakultatif anaerobik, contohnya Bacillus. Tabel 1 memperlihatkan beberapa
jenis bakteri pembentuk spora yang dapat menyebabkan kerusakan makanan
berda-sarkan suhu pertumbuhan dan tingkat keasaman bahan pangan.
Tabel 1. Bakteri pembentuk spora
yang berperan dalam kerusakan makanan
Kelompok Bakteri
|
Tingkat Keasamanan Pangan
|
|
Asam (3.7<ph</ph
|
Asam Rendah (pH≥4.5
|
|
Termofilik (35-55oC)
|
B. coagulans
S thermophilus
|
C. thermosaccharolyticum
C. nigrificans
B. stearothermophilus
|
Mesofilik (10-40oC)
|
L. bulgaricus
C. butyricum
C. pasteurianum
B. mascerans
|
C. botulinum (A dan B)
C. sporogenes
C. licheniformis
B. subtilis
|
Psikrofilik (<5>oC)
|
B. polymixa
Pseudomonas
Micrococcus
|
C. botulinum E
S. aureus
|
Pada pengawetan
pangan, secara teknis ada beberapa cara yang menggunakan prinsip mikrobiologis
yaitu mengurangi jumlah seminimal mungkin mikroorganisme pembusuk, menguramgi
kontaminasi mikroorganisme, menciptakan suasana lingkungan yang tidak disukai
oleh mikroorganisme pembusuk, serta mematikan mikroorganisme dengan cara
pemanasan atau radiasi.
Pemusnahan
mikroorgnaisme dengan pemanasan dalam pengalengan ikan pada prinsipnya
menyebabkan terjadinya denaturasi protein, serta menonaktifkan enzim yang
membantu dalam metabolisme. Penerapan panas dapat bermacam-macam tergantung
dari jenis mikroorganismenya, fase mikroorganisme dan kondisi lingkungan spora
bakteri. Semakin rendah suhu yang diberikan maka semakin banyak waktu yang
diperlukan selama pemanasan. Panas yang diberikan dapat memusnahkan sebagian
sel vegetatif, sebagian besar atau seluruh sel. Sebagian besar atau seluruh
untuk sterilisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 semakin banyak jumlah spora akan semakin lama waktu sterilisais. Pada
pengalengan, yang perlu diwaspadai adalah bakteri anaerob seperti Clostridium
botullinum yang tahan terhadap suhu tinggi. Bakteri menyukai suhu di atas 55oC.
Tabel 2. Efek suhu pemanasan
terhadap kebutuhan waktu untuk memastikan spora
Suhu (oC)
|
Waktu (Menit)
|
100
|
1200
|
105
|
600
|
110
|
190
|
115
|
70
|
120
|
19
|
125
|
7
|
130
|
3
|
135
|
1
|
Tabel 3. Efek jumlah awal spora
terhadap waktu yang diperlukan
Jumlah awal spora
|
Waktu (Menit)
|
50000
|
14
|
5000
|
10
|
500
|
9
|
5
|
8
|
2.8 Pengaruh Panas Dalam
Pengelengan Terhadap Nilai Gizi
Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan
tujuan:
a.
Untuk pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya
pengalengan);
b.
Untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya pemanggangan);
serta
c.
Untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan.
Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah
rusak, sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan
mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan kerusakan
sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat. Satu
faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis
dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara biologis yang
tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja, misalnya
sayur-sayuran dan daging-dagingan. Sementara itu, biji-bijian kering yang hanya
mengandung air struktural dapat disimpan hingga satu tahun pada kondisi yang
benar. Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering menyebabkan
terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak diinginkan. Zat
gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses
pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi
diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat besi serta enzim
kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena
banyak merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses
pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi
yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan
zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan
berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Proses pemanasan
bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di
dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat
meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.
Perubahan zat gizi dalam makanan terjadi pada beberapa
tahap selama pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan.
Pengolahan dengan panas dalam proses pengalengan ini mengakibatkan kehilangan
beberapa zat gizi terutama zat – zat yang labil seperti asam askorbat, tetapi
teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang modern dapat memperkecil
kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan harus di optimalisasi untuk
mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba.
Perubahan lainnya yang mempengaruhi nilai gizi pada
produk makanan kaleng adalah akan kehilangan cita rasa segarnya dan satu hal
lagi yang cukup mengganggu adalah timbulnya rasa taint kaleng atau rasa seperti
besi yang timbul akibat coating kaleng yang tidak sempurna. Bahaya utama dalam
makanan kaleng adalah tumbuhnya bakteri Clostridium
botulinin yang dapat menyebabkan keracunan botulinin. Tanda – tanda
keracunan botulinin antara lain tenggorokan menjadi kaku, mata
berkunang-kunang, kejang-kejang yang membawa kematian karena sukar bernafas.
Biasanya bakteri ini tumbuh pada kaleng yang tidak sempurna pengolahannya atau
kaleng yang bocor sehingga makanan didalam kaleng terkontaminasi udara dari
luar.
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa sangat
banyak pengaruh pengolahan panas terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan,
mulai dari saat pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan.
a.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Protein
Pengolahan bahan
pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat
dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan
dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut
organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis
dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi. Diantara cara pengolahan tersebut,
yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan
seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Pada pengolahan dan penggunaan
panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan –
perubahan ini termasuk rasemisasi (Rasemisasi menyebabkan penurunan daya cerna
protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh), hidrolosis, desulfurasi dan
deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel dan beberapa
reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
b.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi “Karbohidrat”
Pemasakan
karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena
karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan dinding
sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati
dipanaskan, granula-granula pati membangkak dan pecah dan pati tergalatinisasi.
Pati masak lebih mudah dicerna daripada pati mentah.
c.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Lemak
Pada umumnya
setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang
terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu
yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang
digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial
terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap
sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi
fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik.
d.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin
Stabilitas
vitamin pada pengolahan panas relative bervariasi. Vitamin A akan stabil dalam
kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika di panaskan dengan
adanya oksigen terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak
seluruhnya apabila dioksidasi dan dihedrogenasi.
2.9 Kerusakan pada Produk Kaleng
Kerusakan pada produk kaleng, khususnya produk
pengalengan ikan dibagi menjadi dua yaitu kerusakan yang disebabkan karena
kesalahan pengolahan dan kebocoran kaleng. Pada dasarnya kerusakan utama pada
makanan kaleng ditimbulkan oleh kurang sempurnanya proses termal dan pencemaran
kembali sesudah pengolahan. Kerusakan makanan kaleng dapat disebabkan tiga hal
yaitu keadaan terlipatnya sambungan-sambungan kaleng, kontaminasi bakteriologis
dari air pencuci atau air pendingin, peralatan pengalengan bekerja kurang baik (Fadli,2011).
Menurut Anggraini et al., (2013), kerusakan-kerusakan
yang terjadi pada pengalengan sebagai berikut :
a.
Flipper, yaitu kaleng terlihat normal, tetapi bila salah satu tutupnya
ditekan dengan jari, tutup lainnya akan menggembung.
b.
Kembung sebelah atau springer, yaitu salah satu tutup kaleng terlihat
normal, sedangkan tutup lainnya kembung. Tetapi jika bagian yang kembung
ditekan akan masuk ke dalam, sedangkan tutup lainnya yang tadinya normal akan
menjadi kembung.
c.
Kembung lunak, yaitu kedua tutup kaleng kembung tetapi tidak keras dan
masih dapat ditekan dengan ibu jari.
d.
Kembung keras, yaitu kedua tutup kaleng kembung dan keras sehingga tidak
dapat ditekan dengan ibu jari. Pada kerusakan yang sudah lanjut dimana gas yang
terbentuk sudah sangat banyak, kaleng dapat meledak karena sambungan kaleng
tidak dapat menahan tekanan gas dari dalam.
Menurut Mayasari (2013), kerusakan yang dapat terjadi
pada bahan pangan yang dikemas dengan kemasan kaleng terutama adalah kerusakan
kimia, meski demikian kerusakan biologis juga dapat terjadi. Kerusakan kimia
yang paling banyak terjadi pada makanan yang dikemas dengan kemasan kaleng
adalah hydrogen swell yang terjadi karena adanya tekanan gas hidrogen
yang dihasilkan dari reaksi antara asam pada makanan dengan logam pada kaleng
kemasan. Kerusakan lainnya adalah :
a.
Interaksi antara bahan pembuat kaleng yaitu Sn dan Fe dengan makanan yang
dapat menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan. Kerusakan tersebut dapat
berupa perubahan warna dari bagian dalam kaleng, perubahan warna pada makanan
yang dikemas, off-flavor pada makanan yang dikemas, kekeruhan pada sirup,
perkaratan atau terbentuknya lubang pada logam, kehilangan zat gizi.
b.
Kerusakan mikrobiologis pada makanan kaleng dapat disebabkan oleh meningkatnya resistensi mikroba terhadap
panas setelah proses sterilisasi rusaknya kaleng setelah proses sterilisasi
sehingga memungkinkan masuknya mikroorganisme ke dalam kaleng. Kerusakan kaleng
yang memungkinkan masuknya mikroorganisma adalah pada bagian sambungan kaleng
atau terjadinya gesekan pada saat proses pengisian (filling).
Mikroorganisme juga dapat masuk pada saat pengisian apabila kaleng yang
digunakan sudah terkontaminasi terutama jika kaleng tersebut dalam keadaan
basah. Kerusakan juga dapat disebabkan karena kaleng kehilangan kondisi
vakumnya sehingga mikroorganisme dapat tumbuh.
c.
Perkaratan (korosi) adalah pembentukan lapisan longgar dari peroksida yang
berwarna merah coklat sebagai hasil proses korosi produk pada permukaan dalam
kaleng. Pembentukan karat memerlukan banyak oksigen, sehingga karat biasanya
terjadi pada bagian head space dari kaleng. Perkaratan pada kemasan
kaleng ini dapat menyebabkan terjadinya migrasi Sn ke dalam makanan yang
dikemas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Nicholas Appert. Orang yang pertama kali menemukan cara mengawetkan
makanan di dalam kaleng atau istilahnya dengan pengalengan.
2.
Pengalengan yaitu metode pengawetan makanan dengan memanaskannya dalam suhu
yang akan membunuh mikroorganisme, dan kemudian menutupinya dalam stoples
maupun kaleng.
3.
Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas
secara hermetis dan kemudian disterilkan.
4.
Mekanisme pengalengan makanan di mulai dari penanganan bahan kemasan,
penanganan kaleng kosong, penganganan selama penutupan kaleng, penanganan
selama proses termal, penanganan selama pendinginan, sampai penanganan kaleng
setelah didinginkan.
5.
Pada dasarnya, proses pengalengan bahan pangan nabati meliputi
tahapan-tahapan sebagai berikut : sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan,
blanching, pengisian, exhausting, penutupan, processing (sterilisasi), pendinginan,
penyimpanan, dan pengujian mutu makanan kaleng.
6.
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di
dalamnya, kemasannya yang hermetis dapat menjaga produk dari kontaminasi oleh
mikroba, serangga, atau bahan asing lain penyebab pembusukan, memperpanjang
lama penyimpanan , mempertahankan penampakan dan cita rasanya, menjaga bahan
pangan terhadap perubahan kadar air, kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap
penyerapan oksigen, gas-gas lain dan bau, menjaga produk dari cahaya. Kelemahan produk kaleng, adalah karena
diolah dengan suhu tinggi, produk pengalengan aseptik umumnya kehilangan cita rasa segarnya, pemanasan
suhu tinggi juga menurunkan nilai
gizi produk, produk kaleng juga umumnya kehilangan sifat segar.
7.
Kebusukan makanan kaleng dapat disebabkan oleh kapang, khamir dan bakteri.
Tanda-tanda kebusukan makanan kaleng oleh mikroorganisme dapat dilihat dari (a)
penampakan abnormal dari kaleng (kembung, basah atau label yang luntur), (b)
penampakan produk yang tidak normal serta bau yang menyimpang; (c) produk
hancur dan pucat; dan (d) keruh atau tanda-tanda abnormal lain pada produk cair.
8.
Sangat banyak pengaruh pengolahan panas terhadap komponen zat gizi dalam
bahan pangan, mulai dari saat pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan
penyimpanan, diantaranya adalah : pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak
dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya, pemasakan
karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena
karbohidrat merupakan sumber kalori, pada umumnya setelah proses pengolahan
bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin dan Vitamin tersebut akan rusak
seluruhnya apabila dioksidasi dan dihedrogenasi.
9.
Menurut Anggraini et al., (2013), kerusakan-kerusakan yang terjadi pada
pengalengan sebagai berikut : flipper, kembung sebelah atau springer, kembung lunak, dan kembung keras.
Daftar Pustaka
Lia.
2011. Makanan Pangan dan Kesehatan
Pengawetan. http://chiki-chikia.blogspot.com. Diakses : 08 November 2014
Numira.
2012. Makalah Pengawetan Makanan Modern.
http://numira97.blogspot.com. Diakses : 08 November 2014
Faizatun,
Durrotul. Pengalengan Ikan. http://lautanmahasiswa.blogspot.com. Diakses : 08 November 2014
isi makalah nya bagus sekali
BalasHapuskomatsu alat berat